JANGAN PERNAH
BERHENTI BERHARAP KEPADA ALLAH S.W.T
Berbagai persoalan yang kita hadapi menuntut kita untuk dapat
menyelesaikannya. Salah satu solusi yang kita lakukan adalah dengan
adanya bantuan dari pihak lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa pilihan
kita untuk meminta bantuan dari orang lain akan menjadi harapan
tersendiri yang akan dapat menyelesaikan permasalahan kita. Tetapi perlu
diingat bahwa permintaan kita kepada orang lain bukan satu-satunya
cara.
Sebagai seorang muslim yang menyatakan bahwa Rabb kami adalah Allah,
maka sudah selayaknya segala sesuatunya kita mohonkan bantuan dan
pengharapan kita pada Allah. Bila kita terlalu berharap pada
makhluk-Nya, kita akan menemukan kekecewaan yang teramat mendalam.
Makhuk-Nya penuh dengan berbagai kekurangan yang belum tentu bisa
membantu memecahkan persoalan kita.Allah itu maha segala-galanya, maha
kuasa, maha kaya dan segala maha ada pada-Nya. Jika Allah berkehendak,
maka tak sesuatupun yang bakal menghalangi-Nya, bergantung kepada-Nya
adalah hal yang paling indah dan sebaik-baik mengadu adalah mengadu
kepada-Nya.
Firman Allah:
"Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal jika kamu benar-benar orang yang beriman." Q.S. Al-Maidah (5): 23)
"Sesungguhnya Allah telah menolong kamu di beberapa banyak tempat dan
pada peperangan Hunain, tatkala kamu sombong dengan banyaknya kamu,
tetapi tidak berfaedah bagi kamu sedikitpun, dan (jadi) sempit bagi kamu
bumi yang luas itu, kemudian kamu berpaling sambil mundur." (Q.S.
At-Taubah (9): 25)
Jangan berharap kepada manusia karena mereka akan mengecewakanmu. Tetapi
berharaplah hanya kepada Allah karena Dia akan memberikan yang terbaik
untukmu.
“dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (Q.S. Alam Nasyrah (94): 8)
“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah
dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: 'Cukuplah Allah bagi kami,
Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula)
Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada
Allah,’ (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (Q.S.
At-Taubah (9): 9)
Lantas, bolehkah kita meminta kepada Allah, ketika orang yang kita
cintai pergi, Agar Allah membukakan jalan kembali kepada kita terhadap
orang tersebut? Bukankah Allah menyuruh kita untuk terus berdoa dan
yakin atas doa kita kepada-Nya? Namun, bagaimana perbedaannya dengan
konsep mengikhlaskan orang tersebut?
*********
Boleh. Kita bahkan diajarkan untuk selalu bersikap penuh harap akan
karunia dan rahmat Allah. Kita tidak boleh putus asa dari rahmat dan
karunia-Nya. Dan benar apa yang Anda katakan bahwa Allah menyuruh kita
untuk terus berdoa kepada-Nya dan yakin atas doa kita kepada-Nya.
“Berdoalah kepada Allah dengan penuh keyakinan akan dikabulkan. Dan
ketahuilah bahwa Allah tidak menerima doa dari hati yang kosong dan
lalai.”
Demikian bunyi sebuah sabda Rasulullah Muhammad saw yang diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy, Ath-Thabraniy, dan lain-lain. Namun, sebagai manusia,
kita tentu tidak selalu berada dalam keadaan ideal atau optimal. Ada
kalanya harapan itu berkurang, menipis, dan menyusut. Jangankan harapan,
keimanan seseorang saja bisa naik, bisa turun. Ada kalanya bertambah,
ada kalanya berkurang. Nah, ketika harapan itu berkurang, yang kita
lakukan adalah menyerahkan sepenuhnya persoalan itu kepada Allah.
Terserah Allah akan berbuat apa terhadap persoalan yang sedang kita
hadapi, selama kita sudah melakukan usaha dan sudah pula berdoa dengan
sungguh-sungguh. Allah pasti akan melakukan yang terbaik buat kita. Jika
orang yang kita cintai itu kembali kepada kita, itulah pilihan Allah
yang terbaik buat kita. Jika ternyata tidak kunjung kembali, memang
itulah yang terbaik buat kita di mata Allah. Banyak sekali hal-hal yang
terjadi atau kita alami dalam kehidupan ini tetapi tidak kita sukai,
namun sebenarnya hal itu amat baik buat kita.
|
|
Dan boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal ia baik bagimu, dan
boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia tidak baik bagimu. Demikian
firman Allah dalam (Q.S. al-Baqarah (2): 216).
Keadaan seperti yang ditanyakan ini mirip dengan keadaan orang yang
berharap segera meninggal dunia karena tidak tahan menghadapi penyakit
yang begitu lama dan tidak kunjung sembuh. Kepada orang seperti itu,
Nabi melarang meminta mati (misalnya dengan berdoa: Ya Allah, matikan
saja aku segera). Apalagi dengan cara bunuh diri. Karena berdoa meminta
mati seperti itu sama dengan sikap putus asa. Yang Nabi ajarkan adalah
berdoa seperti ini:
Ya Allah, jika kematian lebih baik untukku, matikanlah aku. Tetapi jika hidup lebih baik bagiku, hidupkanlah aku.
Doa seperti ini bukan suatu bentuk keputusasaan, tetapi justru sebuah
bentuk tawakkal dan berserah diri sepenuhnya kepada ketetapan Allah.
Dalam kasus yang Ibu tanyakan, saya kira doa serupa dapat Ibu lakukan.
Itulah kurang lebih arti tawakkal dan ikhlas terhadap apa saja yang
ditetapkan oleh Allah untuk kita.
Hadist Rasullah:
Dari Anas ra. ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Allah
berfirman, “Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau selama berdoa dan
berharap kepada-Ku, maka Aku pasti akan memberikan ampunan kepadamu atas
segala dosa-dosamu dan Aku tidak akan peduli. Wahai anak Adam,
andaikata dosa-dosamu sampai ke langit kemudian engkau memohon ampunan
kepada-Ku, maka pasti Aku akan memberikan ampunan kepadamu. Wahai Anak
Adam!, jika engkau datang kepada-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh
bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku, tapi engkau tidak
menyekutukan-Ku sedikit pun, maka pasti Aku akan datang kepadamu dengan
membawa ampunan sepenuh bumi.” (HR. At-Tirmidzi. Ia berkata, “Hadits ini
hasan”)
Demikian, wallahu a’lam
Raja’ [Berharap Kepada Allah]
Raja’ dan Khauf merupakan 2 sayap (janaahaan) yang dengannya terbang
para muqarrabiin ke segala tempat yang terpuji. Kedua sifat ini sangat
penting untuk didefinisikan, karena jika tidak akan terjadi dua
kesalahan yang sangat berbahaya. Pertama, adalah sikap berlebihan
(ghuluww) sebagaimana yang dialami oleh sebagian kaum sufi yang menjadi
sesat karena mendalami lautan ma’rifah tanpa dilandasi oleh syari’ah
yang memadai [2]. Sedangkan kesalahan yang kedua, adalah sikap
mengabaikan (tafriith), sebagaimana orang-orang yang beribadah tanpa
mengetahui kepada siapa ia beribadah dan tanpa merasakan kelezatan
ibadahnya, sehingga ibadahnya hanyalah berupa rutinitas yang kering dan
hampa dari rasa harap, cemas dan cinta.
Raja’ adalah sikap mengharap dan menanti-nanti sesuatu yang sangat
dicintai oleh si penanti. Sikap ini bukan sembarang menanti tanpa
memenuhi syarat-syarat tertentu, sebab penantian tanpa memenuhi syarat
ini disebut berangan-angan (tamniyyan). Orang-orang yang menanti ampunan
dan rahmat ALLAH tanpa amal bukanlah Raja’ namanya, tetapi
berangan-angan kosong.
Ketahuilah bahwa hati itu sering tergoda oleh dunia, sebagaimana bumi
yang gersang yang mengharap turunnya hujan. Jika diibaratkan, maka hati
ibarat tanah, keyakinan seseorang ibarat benihnya, kerja/amal seseorang
adalah pengairan dan perawatannya, sementara hari akhirat adalah hari
saat panennya. Seseorang tidak akan memanen kecuali sesuai dengan benih
yang ia tanam, apakah tanaman itu padi atau semak berduri ia akan
mendapat hasilnya kelak, dan subur atau tidaknya berbagai tanaman itu
tergantung pada bagaimana ia mengairi dan merawatnya.
Dengan mengambil perumpamaan di atas, maka Raja’ seseorang atas ampunan
ALLAH adalah sebagaimana sikap penantian sang petani terhadap hasil
tanamannya, yang telah ia pilih tanahnya yang terbaik, lalu ia taburi
benih yang terbaik pula, kemudian diairinya dengan jumlah yang tepat,
dan dibersihkannya dari berbagai tanaman pengganggu setiap hari, sampai
waktu yang sesuai
Maka penantiannya inilah yang disebut Raja’.
Sedangkan petani yang datang pada sebidang tanah gersang lalu
melemparkan sembarang benih kemudian duduk bersantai-santai menunggu
tanpa merawat serta mengairinya, maka hal ini bukanlah Raja’ melainkan
bodoh (hamqan) dan tertipu (ghuruur). Berkata Imam Ali ra tentang hal
ini:
“Iman itu bukanlah angan-angan ataupun khayalan melainkan apa-apa yang
menghunjam di dalam hati dan dibenarkan dalam perbuatannya.”
Maka renungkanlah wahai saudaraku !
Maka seorang hamba yang yang memilih benih iman yang terbaik, lalu
mengairinya dengan air ketaatan, lalu mensucikan hatinya dari berbagai
akhlaq tercela, ia tekun merawat dan membersihkannya, kemudian ia
menunggu keutamaan dari ALLAH tentang hasilnya sampai tiba saat
kematiannya maka penantiannya yang panjang dalam harap dan cemas inilah
yang dinamakan Raja’. Berfirman ALLAH SWT:
“Orang-orang yang beriman, dan berhijrah dan berjihad dijalan ALLAH,
mereka inilah yang benar-benar mengharapkan rahmat ALLAH.” (Q.S.
Al-Baqarah, 2: 218).
Sementara orang yang tidak memilih benih imannya, tidak menyiraminya
dengan air ketaatan dan membiarkan hatinya penuh kebusukan, darah dan
nanah serta kehidupannya asyik mencari dan menikmati syahwat serta
kelezatan duniawi lalu ia berharapkan ALLAH akan mengampuni dosa-dosanya
maka orang ini bodoh dan tertipu. Berfirman ALLAH SWT tentang mereka
ini:
“Maka setelah mereka digantikan dengan generasi yang mewarisi Kitab yang
menjualnya dengan kerendahan, lalu mereka berkata ALLAH akan mengampuni
kita.” (Q.S. Al’A’raaf, 7: 169).
Dan mereka juga berkata:
“Jika seandainya saya dikembalikan kepada RABB-ku maka aku akan mendapat
tempat yang lebih baik dari ini.” (Q.S. Al-Kahfi, 18: 36).
Bersabda Nabi SAW:
“Orang yang pandai adalah yang menjual dirinya untuk beramal untuk hari
akhirat, sementara orang yang bodoh adalah orang yang mengikuti hawa
nafsunya di dunia lalu berangan-angan kepada ALLAH akan mengampuninya.”
(HR Tirmidzi 2459, Ibnu Majah 4260, Al-Baghawiy, Ahmad 4/124, Al-Hakim
1/57).
Keutamaan Raja’ yang lainnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi SAW sebagai berikut:
“Seorang hamba ALLAH diperintahkan untuk masuk ke neraka pada hari
Kiamat, maka iapun berpaling maka ditanya ALLAH SWT (padahal IA Maha
Mengetahui): ‘Mengapa kamu menoleh?’ Ia menjawab: ‘Saya tidak berharap
seperti ini’. ALLAH berfirman: ‘Bagaimana harapanmu?’ Jawabnya: ‘ENGKAU
mengampuniku’. Maka firman ALLAH: ‘Lepaskan dia’.”
Raja’ hanya bermanfaat bagi orang yang sudah berputus asa karena dosanya
sehingga meningggalkan ibadah, serta orang yang demikian khauf pada
ALLAH SWT sehingga membahayakan diri dan keluarganya. Sedangkan bagi
orang yang bermaksiat, sedikit ibadah dan berharap ampunan ALLAH, maka
Raja’ tidak berguna, melainkan harus diberikan khauf.
Sebab-sebab Raja’ adalah pertama dengan jalan i’tibar yaitu merenungkan
berbagai nikmat ALLAH yang telah ditumpahkan-NYA setiap waktu pada kita
yang tiada sempat kita syukuri ditengah curahan kemaksiatan kita yang
tiada henti pada-NYA, maka siapakah yang lebih lembut dan penuh kasih
selain DIA? Apakah terlintas bahwa IA yang demikian lembut dan penuh
kasih akan menganiaya hambanya?
Adapun jalan yang kedua adalah jalan khabar, yaitu dengan melihat firman-NYA, antara lain:
“Wahai hambaku yang telah melampaui batas pada dirinya sendiri,
janganlah kamu putus asa akan rahmat ALLAH, sesungguhnya ALLAH
mengampuni seluruh dosa-dosa.” (Q.S. Az-Zumar, 39: 53).
dan hadits-hadits Nabi SAW:
“Berfirman ALLAH SWT kepada Adam as: ‘Bangunlah! Dan masukkan
orang-orang yang ahli neraka’. Jawab Adam as: ‘Labbbaik, wa sa’daik,
wal-khoiro fi yadaik, ya Rabb berapa yang harus dimasukkan ke neraka?’
Jawab ALLAH SWT: ‘Dari setiap 1000, ambil 999!’ Ketika mendengar itu
maka anak-anak kecil beruban, wanita hamil melahirkan dan manusia
seperti mabuk (dan wanita yang menyusui melahirkan bayinya, dan kamu
lihat menusia mabuk, padahal bukan mabuk melainkan adzab ALLAH di hari
itu sangat keras. QS. Al-Hajj, 21: 2). Maka berkatalah manusia pada Nabi
SAW: ‘Ya Rasulullah! Bagaimana ini?’ Jawab Nabi SAW: ‘Dari Ya’juj wa
ma’juj 998 orang dan dari kalian 1 orang’. Maka berkatalah manusia:
‘ALLAHU Akbar!’ Maka berkatalah Nabi SAW pada para sahabat ra: ‘Demi
ALLAH saya Raja’ bahwa kalian merupakan 1/4 dari ahli jannah! Demi ALLAH
saya Raja’ kalian merupakan 1/3 ahli jannah! Demi ALLAH saya Raja’
kalian menjadi 1/2 ahli jannah!’ Maka semua orangpun bertakbir, dan Nabi
SAW bersabda: ‘Keadaan kalian di hari itu seperti rambut putih di Sapi
hitam atau seperti rambut hitam di Sapi putih’.” (HR Bukhari 6/122 dan
Muslim 1/139)
——————————————————————————–
[1] Disarikan dari Kitab Mukhtashar Minhaajul Qaasidiin, Syaikh Ahmad bin Abdirrahman bin Qudamah al-Maqdisiy rahimahullah.
[2] Lihat Kitab Talbiisu Ibliis (kesurupan Iblis), Syaikh al ‘Aalim Jamaaluddiin Ibnul Jauziy rahimahullah.